Entah kapan persis dimulai, namun 2009
dipandang sebagai tahun maraknya musik-musik bercitarasa Melayu. Banyak orang
memandang bahwa tren pasar musik Indonesia mengarah ke nuansa Melayu. Dan
sontak sejumlah musisi top memandang fenomena itu sebagai berita buruk bagi
musik Indonesia.
“Malu musik Indonesia diracuni Melayu.”
Demikian pernyataan seorang musisi papan atas Indonesia saat menanggapi
maraknya musik-musik beraroma Melayu. Pernyataan tersebut pada dasarnya diamini
oleh banyak musisi lain. Bagi mereka, musik-musik Melayu yang dibawakan oleh
sejumlah musisi dianggap kampungan dan menimbulkan degradasi.
Pernyataan yang menyudutkan tersebut
dialamatkan kepada grup-grup musik pendatang baru. Mereka yang baru datang ini
diklaim sebagai representasi musik Melayu yang merebut pasar industri musik
Indonesia. Namun, benarkah mereka sedang membawakan musik Melayu?
Jika kita tinjau secara seksama,
kelompok-kelompok musik yang dimaksud itu sama sekali tidak mengusung musik
Melayu. Mereka sebenarnya lebih condong ke nuansa pop rock ala Malaysia yang
meledak di pertengahan tahun 1990-an.
Saat membawakan sebuah aliran atau jenis
musik tertentu, ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai suatu kaidah. Ada
hal yang harus dipenuhi dari perspektif skala nada (scale) maupun ritmiknya.
Musik blues, misalnya, dimana skala yang digunakan pada umumnya adalah Pentatonic
Blues Mayor/Minor, dan jenis ritmik atau progresinya seperti 12 bar Blues atau
Rock Blues.
Contoh lain bisa kita amati pada musik
Jazz. Di sini progresi akor dan skala jenis ritmik, seperti swing, 6/8,
atau bee bop, harus memiliki pondasi dan dasar khusus agar musik tersebut
mengeluarkan nuansanya yang khas.
Begitu juga dengan musik Melayu. Musik ini
memiliki jenis ritme tersendiri, seperti Zapin, Joget, Mak Inang, Gazal, atau
Senandung. Saat menyanyikannya, cengkok dan lengkoknya khas, dan ini berbeda
dengan dengan Dangdut atau Keroncong.
Musik Melayu. Foto: Dokumentasi Tengku Ryo Riezqan.
Nuansa musik Melayu akan mencuat jika ada
unsur-unsur yang mendukungnya, baik dari jenis bunyi-bunyian, ritmik, maupun
melodi lagu berikut ornamentasinya yang disebut Grenek.
Atas dasar pemikiran ini, sungguhlah
menyedihkan dan memalukan melihat musisi kita, bahkan yang sudah berada di
papan atas, tidak mengenal musik dari budayanya sendiri. Mereka lebih memahami
musik-musik dari budaya Barat, seperti Rock n Roll, Fussion, Metal, atau
Grunge, berikut dengan perilaku, busana, dan gaya bicara. Dan mereka sangat
berbangga hati dengan itu semua.
Sebenarnya, hal-hal semacam itu, yakni
mengusung musik-musik asing, tidaklah menjadi sebuah masalah. Sebab musik
memang harus dibebaskan dari hal-hal yang menyempitkannya. Akan tetapi,
meskipun tidak mengusung musik yang bernuansa tradisi negeri, hendaknya ada
sebuah penghormatan dan rasa menghargai, tidak serampang menilai prinsip musik
tertentu dalam kebutaan budaya.
Dan pada saat yang sama, kata “Melayu” itu
bukanlah sekedar sebuah suku kata. Kata itu mengalir di dalam darah jutaan
manusia yang terlahir sebagai putra putri bangsa (bukan lagi suku) Melayu yang
buminya terhampar melampaui batas-batas negara.
Pernyataan tanpa dasar yang mendiskreditkan
Melayu sungguh membuat saya cemas. Pernyataan dari idola-idola musik semacam
itu dapat berpengaruh kepada generasi muda.
Bagi saya, suku kata “Melayu” harus
diredefinisi sehingga tidak dengan bebas dianggap mewakili dari sesuatu yang
bersifat negatif. Kita terlanjur akrab dengan istilah “Janji Melayu”, “Jam
Melayu”, “Kerja Melayu”, “Politik Melayu”, atau “Intel Melayu”. Bukankah ini
doktrinasi tidak langsung yang merasuki pikiran kita?

